Senin, 31 Oktober 2011

RUANG TERBUKA HIJAU RUANG TERBUKA dan RUANG TERBUKA HIJAU

 
I. RUANG TERBUKA (OPENSPACE)

Sampai saat ini pemanfaatan ruang masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Menurunnya kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka (Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat.

Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial,  ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat.

Ruang terbuka menciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.

Ruang terbuka adalah ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun  waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruang terbuka itu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya.  Dilihat dari sifatnya ruang terbuka bisa dibedakan menjadi ruang terbuka privat (memiliki batas waktu  tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya bersifat pribadi, contoh halaman rumah tinggal), ruang terbuka semi privat (ruang  publik yang kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat, contoh Senayan, Ancol)  dan ruang terbuka umum (kepemilikannya oleh pemerintah dan bisa diakses langsung oleh masyarakat tanpa batas  waktu tertentu, contoh alun-alun, trotoar). Selain itu ruang terbuka pun bisa diartikan sebagai ruang interaksi (Kebun Binatang, Taman rekreasi, dll).

Ditinjau dari pengertian di atas, ruang terbuka tidak selalu harus memiliki bentuk fisik (baca: lahan dan lokasi) definitif. Dalam bahasa arsitektur, ruang terbuka yang telah berwujud fisik ini sering juga disebut sebagai ruang publik, sebutan yang sekali lagi menekankan aspek aksesibilitasnya.

Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan  bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan  kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya.  Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat  dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh  maupun lansia.

Ruang-ruang terbuka  atau ruang-ruang publik ditinjau dari bentuk fisiknya dapat rupa Ruang Terbuka Hijau dan/atau Ruang Terbuka Binaan (Publik atau Privat)




II.  RUANG TERBUKA HIJAU  (Green Openspaces)

Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat  tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya  pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.

Sejumlah areal  di  perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir  ini,  ruang publik,  telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang cenderung berpola “kontainer” (container  development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dlsbnya, yang berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk  datang ke tempat-tempat semacam itu.

Ruang terbuka hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik. Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada.

Contoh, Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang yang mengedepankan RTH di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan pusat perdagangan secara linier ke lima penjuru kota, sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan, persampahan dan RTH, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata luasan RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan pengembangan RTH yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.

Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.

Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) terdiri dari Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) Dan Ruang Terbuka  Hijau Binaan (RTH Binaan).

Ruang Terbuka Hijau Lindung (RTHL) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, di dominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alami atau tanaman budi daya.
Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, daerah pertanian, persawahan, hutan bakau, dsbnya.

Ruang Terbuka Hijau Binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, dimana penggunaannya lebih bersifat terbuka/ umum, dengan permukaan tanah di dominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang  hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi  udara dan perlindungan terhadap flora

Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Kegiatan–kegiatan manusia yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hijau mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan perkotaan. Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan hijau pasti akan lebih baik jika setiap orang mengetahui fungsi RTH bagi lingkungan perkotaan. fungsi dari RTH bagi kota yaitu: untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan dalam kota dengan sasaran untuk memaksimumkan tingkat kesejahteraan warga kota dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan sehat.
Berdasarkan fungsinya menurut Rencana Pengembangan Ruang terbuka hijau tahun 1989 yaitu :
1. RTH yang berfungsi sebagai tempat rekreasi dimana penduduk dapat melaksanakan kegiatan berbentuk rekreasi, berupa kegiatan rekreasi aktif seperti lapangan olahraga, dan rekreasi pasif seperti taman.
2. RTH yang berfungsi sebagai tempat berkarya, yaitu tempat penduduk bermata pencaharian dari sektor pemanfaatan tanah secara langsung seperti pertanian pangan, kebun bunga dan usaha tanaman hias.
3. RTH yang berfungsi sebagai ruang pemeliharaan, yaitu ruang yang memungkinkan pengelola kota melakukan pemeliharaan unusur-unsur perkotaan seperti jalur pemeliharaan sepanjang sungai dan selokan sebagai koridor kota.
4. RTH yang berfungsi sebagai ruang pengaman, yaitu untuk melindungi suatu objek vital atau untuk mengamankan manusia dari suatu unsur yang dapat membahayakan seperti jalur hijau disepanjang jaringan listrik tegangan tinggi, jalur sekeliling instalasi militer atau pembangkit tenaga atau wilayah penyangga.
5. RTH yang berfungsi sebagai ruang untuk menunjang pelestarian dan pengamanan lingkungan alam, yaitu sebagai wilayah konservasi atau preservasi alam untuk mengamankan kemungkinan terjadinya erosi dan longsoran pengamanan tepi sungai, pelestarian wilayah resapan air.
6. RTH yang berfungsi sebagai cadangan pengembangan wilayah terbangun kota di masa mendatang.
Sangat penting untuk diingat bahwa tumbuhan merupakan kehidupan pelopor yang menyediakan bahan makanan dan perlindungan kepada hewan maupun manusia. Sementara untuk kota di luar negeri taman identik dengan peradaban suatu bangsa, sehingga mereka sangat memperhatikan masalah pembanguan fungsi, misalnya Di Italia; terkenal sebagai tempat asal pemusik kelas dunia memiliki taman dengan ciri khas permainan musik lewat water orchestra, Di Yunani; orang terkenal gemar memasak dan mengobati memiliki taman dengan ciri khas kitchen garden, Di Mesir; taman memiliki ciri khas tanaman herba, rempah-rempah dan wewangian, di Inggris; taman dengan rumput terpangkas rapi dengan seni pemangkasan yang terkenal yaitu topiary, di Cina dan Jepang; dengan tradisi Buddhisme, taoisme merancang taman yang berfungsi spirit kerohanian dengan ciri khas taman adalah air, batu dan bukit-bukitan (Kompas, April, 2001) dan di Sydney yang berpenduduk asli suku Aborigin menganggap tanah dan alam bagian dari hidup mereka, jadi pemerintah membangun taman nasional (suaka alam) dengan mempekerjakan masyarakat sekitar sebagai pengelola taman dan setelah itu mengembalikannya kepada penduduk tradisional sepenuhnya, lalu pemerintah menyewa taman tersebut dari penduduk, sehingga sehingga kedua pihak mengelolanya bersama (Kompas, September, 2000).

Manfaat Ruang Terbuka Hijau
Manfaat RTH kota secara langsung dan tidak langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi ’alami’ ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi.
Manfaat tanaman sebagai komponen kehidupan (biotik) dan produsen primer dalam rantai makanan, bagi lingkungan dan sebagai sumber pendapatan masyarakat, semua orang sudah mengetahuinya. Proses fotosintesis telah diajarkan sejak sekolah dasar, di mana zat hijau (khlorofil) yang banyak terdapat dalam daun dengan bantuan energi matahari dan air, menghasilkan makanan, berupa karbohidrat, protein, lemak juga vitamin dan mineral, sangat berguna bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Tanaman adalah pabrik tanpa butuh bahan bakar fosil, bahkan dia adalah sumber karbon itu, sama juga tidak membutuhkan energi listrik atau api untuk memasak makanannya agar bisa terus tumbuh. Pabrik ini tidak mencemari media lingkungan, bahkan membantu ’membersihkan’ media udara yang kotor serta ’menyegarkan’ udara. Akar pohon berfungsi untuk menarik bahan baku dari dalam media tanah, antara lain berbagai macam mineral yang larut dalam air. Zat-zat tersebut ’dimasak’ dalam ’pabrik’ daun menghasilkan karbohidrat (tepung, gula, selulosa/serat), oksigen, yang seringkali disimpan dalam gudang berbentuk buah dan biji untuk sebagai agen pertumbuhan selanjutnya.
1. Manfaat bagi Kesehatan
Tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan penyerap karbon dioksida (CO2) dan zat pencemar udara lain, khusus di siang hari, merupakan pembersih udara yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (absorbsi) dan penjerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis, yang terjadi terutama pada daun, dan permukaan tumbuhan (batang, bunga, dan buah).
Pembuktian, bahwa tumbuhan dapat efektif membentuk udara bersih, dapat dicermati dari hasil studi penelitian Bernatzky (1978: 21-24), yang menunjukkan bahwa setiap 1 hektar RTH, yang ditanami pepohonan, perdu, semak dan penutup tanah, dengan jumlah permukaan daun seluas 5 hektar, maka sekitar 900 Kg CO2 akan dihisap dari udara, dan melepaskan sekitar 600 Kg O2 dalam waktu 12 jam.
Hasil penelitian Hennebo (1955) menyimpulkan, bahwa terjadi pengendapan debu (aerosol) pada lahan terbuka dan khususnya pada hutan kota. Pengendapan debu dipengaruhi jarak RTH terhadap sumber debu, jenis dan konsentrasi debu, kondisi iklim, topografi, jenis, dan kelompok tanaman, serta struktur arsitektural RTH.
2. Ameliorasi Iklim
Dengan adanya RTH sebagai ‘paru-paru’ kota, maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara, cahaya, dan pergerakan angin.
Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), dibanding dengan suhu di ‘luar’nya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius (Purnomohadi, 1995).
RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di ‘atas’ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat.